Random

Rabu, 18 April 2012

Tradisi dan Modernitas: Antara Dilema dan Keniscayaan

Pepatah Minangkabau mengatakan: adaik dipakai baru, kain dipakai usang. Artinya, adat Minangkabau akan tetap berguna dalam keadaan zaman apa pun, tidak seperti barang material yang seiring waktu nilainya kian berkurang. Tak tahu pasti kapan pepatah tersebut diciptakan, tetapi abad ke-21 menunjukkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya.
Satu per satu aturan-aturan adat yang lama digusur oleh yang baru. Penghulu dahulu memiliki kekuatan di dalam sukunya, sekarang banyak anggota suku yang tak kenal lagi penghulunya karena sang penghulu sudah terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dan keluarga inti. Di masa lalu amat sulit menjual tanah pusaka, kini orang-orang bermurah hati menjualnya apabila ada kebutuhan mendesak seperti mobil dan rumah bertingkat. Jika pada abad ke-19 masih kuat aturan anak lelaki musti menginap di surau kaum-nya, sekarang menyuruh anak lelaki tiap hari  tidur di luar sama saja melatihnya jadi preman. Aturan-aturan yang dulu lazim kini tak relevan lagi.
Satu per satu hasil-hasil kerajinan dan kesenian tradisonal digantikan. Orang-orang Minangkabau seratus tahun lalu masak dengan tungku dan kayu api, kini untuk apa pakai kayu api jika kompor gas bisa ditemukan di mana-mana. Dulu orang naik pedati dari Bukittinggi ke Padang untuk membawa hasil bumi, tahun 2012 ini hanya orang gila yang berpikir melakukannya. Untuk makanan ringan orang-orang Minangkabau masa lampau cukup puas dengan mengunyah saka, dadiah, cindua, kini anak muda yang tak kenal dengan fried chicken, donat dan pizza  akan didaulat manusia sengsara. Barang-barang yang dulu niscaya sekarang sudah tak berguna.
Mungkin ada yang berpendapat penghulu, tanah pusaka, sistem pewarisan matrilineal, aturan tidur di surau, pedati dan yang serupa bukanlah bagian yang esensial dari adat Minangkabau. Sebab, adat yang sebenar adat adalah hukum alam. Tanpa rumah gadang, tanpa tungku tigo sajarangan, tanpa belajar silek pada zaman sekarang seseorang masih bisa disebut beradat.
Pendapat di atas mengabaikan satu hal bahwa nama lain adat adalah tradisi. Tradisi bisa diartikan sebagai kontinuitas yang dipertahankan dari masa lalu baik sifatnya materil maupun imateril. Semua yang disebut tadi adalah bagian dari tradisi karena telah diterapkan dan digunakan oleh orang-orang Minangkabau selama berabad-abad. Selama itu pula nenek moyang kita terbantu olehnya untuk menciptakan masyarakat yang utuh. Perubahan aneh terjadi setelah kontak dengan peradaban Eropa dan mulai intens semenjak awal abad ke-19. Sakali aia gadang sakali tapian baraliah.
Untuk memahami mengapa perubahan tersebut aneh dan luar biasa barangkali tidaklah sulit. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, perubahan terjadi dalam waktu yang cepat. Apa yang selama seribu tahun diterapkan dalam beberapa dekade saja dipandang tidak relevan lagi oleh masyarakat. Kedua, perubahan terjadi secara besar-besaran dalam seluruh aspek kehidupan. Hampir tidak ada aktivitas yang tidak tersentuh olehnya.
Pembawa dari perubahan itu adalah peradaban modern berspirit materialisme yang berhembus dari dunia Barat. Peradaban tersebut mengusung kecanggihan teknologi dan paradigma hidup yang praktis. Setelah orang-orang Minangkabau mempelajarinya, sebagian besar mendapatinya sebagai hal baru, menarik, suatu kemajuan, suatu yang pantas dijadikan ideal untuk ditiru. Karena kekaguman, sebagian mereka lalu merasa rendah diri dan memandang adatnya masih jahiliah sehingga perlu dikoreksi total. Sebagian lain berpandangan peradaban modern dan  adat tradisional sama sekali tak bertentangan sehingga berupaya mencari sintesis. Di sisi lain, ada yang menolaknya secara tegas dan ada yang tak peduli karena tak punya kepentingan. Hasil dari perkembangan dan pergumulan berpuluh-puluh tahun adalah apa yang kita lihat sekarang. Meski belum memasuki ronde terakhir, agaknya sudah terlihat siapa yang akan jadi pemenang: tradisi atau modernitas.
Jika pun bisa memilih, ada dilema yang kentara. Jika memilih hidup utuh dengan tradisi berarti hidup terisolasi. Apabila suatu kampung tak ingin modernitas masuk, tak ingin jalan beraspal, listrik, sekolah pemerintah, pelayanan kesehatan, televisi, maka siap-siaplah mati di kampung ibarat katak berkubur dalam tempurung. Jika ingin menerapkan secara konsisten undang-undang nan duo puluah dan amanat Datuak Katumanggungan (Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo 2003: Curaian Adat Minangkabau), maka berhati-hatilah karena akan didakwa melawan hukum positif dan melakukan subversi terhadap pemerintah. Apabila tak ingin menggunakan barang-barang teknologi modern di zaman ini rasakanlah hidup susah.
Namun, apabila menerimanya seutuhnya, maka terjadi pertentangan batin. Sebab, hati masih dirasa terhubung ke masa lalu meskipun gaya hidup berkiblat ke Los Angeles.    
Apa yang sebenarnya terjadi pada mayoritas masyarakat Minangkabau saat sekarang adalah hasil dari usaha sintesis berpuluh tahun. Peradaban modern tidak ditampik dan tradisi tidak ingin ditinggalkan seolah tidak ada yang bertentangan antara keduanya.
Dan hasilnya? Suatu kampung selama berabad-abad cara hidupnya tak berubah sejak kampung itu dibuat nenek moyang. Ketika banyak tempat lain di Indonesia telah merdeka, mereka belum merdeka karena tak disentuh jalan beraspal. Setelah lama menuntut dan akhirnya „merdeka“ ,orang-orang kampung menjual tanah dan hasil buminya lalu dibelikan mobil dan sepeda motor. Untuk listrik di rumah dibelilah mesin diesel, langkah selanjutnya adalah televisi dan parabola. Lalu, orang-orang yang dulu ke warung hanya untuk ma-ota dan minum kopi kemudian mulai asyik menonton film-film Hollywood dan Bollywood serta memperbincangkan pertandingan mempesona Liga Italia. Anak-anak muda makin banyak ke kota-kota dan kian gaya dengan tampilan yang modis dan hafalan lagu Korea. Lalu, masuklah listrik dan seterusnya. Akhirnya, tanpa terasa rumah gadang lapuk tak diacuhkan, penghulu tak berkuasa tak penting lagi, adat beralih kepada memenuhi tuntutan-tuntutan yang sifatnya material. Orang bangga menyebut dirinya masih beradat karena dalam baralek pakaian adat masih dipakai, makanan-makanan tertentu masih dihidangkan menurut susunan tertentu,  hiasan-hiasan adat berkilauan dan berumbai-umbai hingga ke lantai ,meskipun hiburannya orgen tunggal dengan sajian utama lagu-lagu triping sampai pagi.
Kemerosotan adat. Dekadensi tradisi. Itulah yang sebenarnya sedang terjadi. Apakah penyebabnya? Apakah modernitas itu terlampau perkasa atau karena kita tak pandai memilah sehingga proses sintesisnya salah kaprah? Jika sintesisnya benar, maka kualitas SDM kita dalam bidang teknologi, bahasa asing dan seni tidak akan kalah dari Malaysia dan Cina, kita takkan meminta-minta investasi dan bantuan asing, dan tak ada cerita  gila barang-barang impor dari Jepang, Eropa dan Amerika. Di sisi lain, jika sintesisnya benar, tradisi yang sifatnya positif akan tetap dijaga seperti silek, surau, adat berkorong berkampung, adab bersemenda dan harta pusaka. Jika sintesisnya berlanjut salah, mungkin saat nanti akan lahir pepatah: indak ado gadiang nan indak ratak, indak ado adaik nan indak usang.***(Novelia Musda)

0 komentar:

Posting Komentar